Selamat Datang di Perkumpulan Pelestari Sejarah dan Kebudayaan

SIMBOL BAJAK LAUT DARI TIMUR

 

Ilustrasi Bajak Laut dari Timur

Beberapa waktu ini viral pengibaran bendera kru bajak laut Topi Jerami dari film kartun Jepang “One Piece”. Jolly Roger merupakan simbol tengkorak dengan berbagai varisasinya yang memiliki makna mewakili pemiliknya atau kelompoknya. Ada beberapa pendapat terkait asal usul istilah Jolly Roger, yang pertama berasal dari istilah Perancis Joli Rouge, yang bermakna Merah Cantik. Istilah kedua berasal dari istilah Old Roger, istilah slang dari bahasa Inggris untuk Iblis, di mana tengkorak dianggap sebagai simbol Iblis. Dan yang Istilah ketiga tidak lepas dari “Dunia Islam” yang jauh lebih lama menguasai pelayaran dengan bangsa-bangsa di “Dunia Timur”, istilah Ali Raja yang merujuk pada tokoh peguasa lautan Timur (Persia(Timuriyah)/Tamil(Mughal)/Nusantara(Pasai/Aceh)). Istilah Ali Raja kemudian dilafalkan oleh bangsa Eropa menjadi Jolly Roger.

Jolly Roger populer dipergunakan oleh para bajak laut di Eropa dan sekitarnya pada era antara tahun 1690 – 1730. Para bajak laut Eropa mulai mempopulerkan lambang tersebut seiring penjelajahan banga Eropa ke sumber rempah-rempah Dunia di wilayah Timur (Awal Kolonisasi dunia oleh bangsa Eropa). Penjelajahan tersebut terpaksa dilakukan setelah jalur rempah darat ke “Dunia Timur” di blokade/embargo ekonomi oleh ke Khalifahan Turki Usmani dan sekutunya.

Bajak lalut Eropa yang tercatat pertama menggunakan bendera tengkorak adalah Emanuel Wynn. Ia adalah bajak laut dari Prancis yang aktif sekitar tahun 1700 an. Bendera yang dikenakan kelompoknya digambarkan berwujud tengkorak di atas dua tulang bersilang, dengan jam pasir di bawahnya. Adapula Bajak Laut “Calico Jack” Rackham yang memiliki simbol tengkorak dengan dua pedang bersilang di bawahnya. Adapula yang menyeramkan dari Bajak Laut Edward “Blackbeard” Teach, dengan lambang kerangka iblis yang menombak jantung berdarah sambil memegang jam pasir.

Semua cerita lambang Bajak Laut itu semakin populer setelah diadopsi dalam beberapa karya modern seperti Novel Treasure Island (1883) film Bajak Laut seperti Piter Pan (1953), Pirates of the Caribbean, dan anime One Piece.

Lalu sebelum bangsa-bangsa Eropa masih dalam zaman kegelapan, mengangap rempah sebagai tanaman dari Surga, dan belum pernah mengenal dunia Timur secara langsung, apakah lambang tengkorak itu sudah digunakan? Atau kah perampok-perampok Eropa itu hanya latah menggunakan logo yang telah dipopulerkan para pelaut dari dunia Timur?

Jika kita kaji secara mendalam terhadap kebudayaan masyarakat Timur, dan Barat, maka identifikasi penggunaan lambang Tengkorak sangat kuat telah dipopulerkan oleh masyarakat Timur. Kita akan mendapatkan makna yang lebih mendalam pada masyaraat dunia timur kala itu, terutama masyarakat Nusantara.

Kurun waktu Abad Ke 8 – 15 M, simbol tengkorak banyak ditemukan pada peninggalan-peninggalan kerajaan yang bercorak Hindhu maupun Buddha di Nusantara.  Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh kuat aliran Bhairawa maupun Tantrayana yang menyebar di masyarakat Nusantara kala itu. Simbol tengkorak tidak hanya sebatas dekoratif semata, namun menjadi simbol transendensi spiritual yang melepaskan keterikatan duniawi, juga menjadi media visualisasi kekuatan destruktif yang sekaligus bersifat regeneratif (salah satu tugas Dewa Siwa sebagai pelebur materi). Selain itu simbol tengkorak sebagai perwujudan meditasi kematian (maranānusmŗti), agar manusia sadar bahwa materi tubuh hanyalah fana. Oleh karena itulah banyak temuan Arca-arca dari era Kejayaan Kerajaan-kerajaan bercorak Hindhu dan Buddha di Nusantara yang memiliki ornamentasi tengkorak.

Di Desa Brumbung, Kec.Kepung, Kab. Kediri ditemukan sebuah batu prasasti yang memiliki logo Tengkorak menggigit bulan sabit, prasasti yang memiliki logo serupa ditemukan pula di Desa Padangan, Kec. Kayen Kidul, prasasti di Museum Airlangga Kota Kediri, Prasasti di Museum Penataran Blitar, prasasti di Desa Plumbangan, Kec. Doko, Kab. Blitar, dan bahkan sebuah Bathtub (Bak Mandi) koleksi Museum Airlangga Kota Kediri, dari era yang sama dihiasi logo tengkorak menggigit bulan sabit pada keempat sudutnya. Semua temuan Prasasti tersebut berasal sari satu raja yang sama, yaitu titah yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana Tustikarana Sarwaniwaryyawirya Parakrama Digjayottunggadewa, atau yang sering di sebut sabagai Raja Bameswara (1112 – 1135 M). Dalam Prasasti Panumbangan (1042 S/1120M) logo tengkorak menggigit bulan sabit itu disebut dengan nama Candrakapala Lancana.

Candrakapala berasal dari dua istilah yaitu Candra yang bermakna bulan, dan Kapala merujuk kepada kepala tengkorak. Gambaran bulan pada simbol ini merupakan bulan sabit, sehingga sering pula disebut Ardhacandra yang bermakna bulan setengah/separo (bulan sabit). Makna dari Candrakapala dapat disimpulkan sebagai simbol perpaduan antara hidup dan mati, dimana perputaran roda kehidupan hingga kematian (dunia gelap dan dunia terang). Dalam ajaran Tantra hal ini mencerminkan kesadaran sejati hanya muncul jika ego serta keterikatan jasmani musnah. Simbol Candrakapala merupakan salah satu atribut Dewa Siwa, dimana simbol ini menjadi hiasan pada bagian kepala atau makuta Dewa Siwa.


Raja Bameswara merupakan salah satu raja dari Kerajaan Pańjalu di Bumi Kadhiri antara tahun 1112 – 1135 M. Pada masa Kerajaan Pańjalu inilah kita temukan pejabat angkatan laut yang diberi gelar sebagai Senapati Sarwajala. Istilah tersebut kita temukan dalam Prasasti Jaring (1103 S/1181M) yang diterbitkan oleh Sri Maharaja Koncaryadipa Handabhuwanapadalaka Parakrama Anindita Digjayottunggadesa Sri Gandra. Adanya pejabat angkatan laut kerajaan ini mengingatkan pada beberapa Ekspedisi serangan Raja-raja Nusantara ke seberang lautan, sebut saja pada abad Ke-7 pasukan Sriwijaya yang dipimpin Dapunta Hyang melakukan eskpedisi militer naik perahu. Kemudian pada abad ke-8 Serangan Jawa (Kerajaan Mdang) ke Kerajaan Khmer dan Champa.

Pada laporan hasil ekspedisi Dinasti Yuan ke Pulau Jawa pada tahun 1293 M (1215 Saka), disebutkan dengan detail bahwa saat pasukan Dinasti Yuan berkoalisi dengan Majapahit, pasukan Sri Jayakatwang dari Daha (ibukota Kadhiri) menyerang Desa Majapahit dan mencoba mengusir Pasukan Yuan dari perkemahan mereka di muara Bengawan. Serangan pasukan Sri Jayakatwang tersebut melalui jalur bengawan, menggunakan perahu-perahu perang yang haluannya semua dihiasi ornamen kepala Iblis yang menyeramkan. Ada indikasi bahwa hiasan kepala iblis yang dimaksud adalah Kepala Kala maupun Candrakapala, di mana keduanya merujuk kepada mitologi Kala Rahu (asal usul gerhana).

Sebagai wilayah kepulauan dengan banyaknya kerajaan-kerajaan yang berpengaruh di Nusantara, penggunaan armada laut sangat penting. Perahu-perahu layar pun diberi atribut sesuai kerajaan masing-masing, baik ornamentasi perahu dan juga bendera (umbul-umbul dan panji-panji). Penggunaan atribut ini terabadikan pula pada relief-relief perahu di Candi Borobudur. Ramainya perdagangan rempah di Nusantara, menjadikan jalur rempah rawan sabotase oleh para bajak laut. Entah bajak laut resmi yang didukung pemerintahan musuh, maupun para bajak laut yang murni perampok. Bahkan banyak penguasa maupun pangeran yang terusir dari wilayahnya kemudian bergerilya menjadi Bajak Laut dan melakukan sabotase jalur perdagangan laut.

Cerita-cerita petualangan di Jalur Rempah Samudera antara Nusantara hingga Timur Tengah menjadikan sebuah cerita heroik bahkan mistik. Simbol-simbol dari dunia timur terkabarkan sangat luar biasa di Eropa melalui pedagang-pedagang dari Asia maupun Afrika utara.

Ilustrasi Panji-Panji Candrakakapala Lancana


Refleksi

Indonesia sebentar lagi akan merayakan 80 tahun kemerdekaan. Dalam semangat tersebut, pengibaran bendera bajak laut Topi Jerami menjelang Hari Kemerdekaan ini bukan sekadar tren sesaat apalagi ancaman negara, melainkan sebuah refleksi atas semangat Jolly Roger yang telah menjadi bagian dari identitas Nusantara jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa mengenalnya.

Dengan demikian, semangat Candrakapala Lancana yang pernah menjadi simbol raja di Nusantara hingga Jolly Roger yang dikagumi oleh para bajak laut Eropa, kini hidup kembali dalam bendera bajak laut Topi Jerami. Simbol ini tak lagi sekadar hiasan di tiang kapal, melainkan sebuah cerminan sejarah panjang bangsa maritim di Nusantara.

Di balik euforia pengibaran bendera bajak laut Topi Jerami menjelang 80 tahun kemerdekaan Indonesia, tersimpan pesan yang lebih mendalam. Bendera yang dapat dimaknai sebagai lambang kebebasan dan "perlawanan" ini menjadi medium bagi sebagian masyarakat untuk menyuarakan kekecewaan terhadap berbagai isu.

Sama seperti bajak laut Topi Jerami yang berjuang melawan keserakahan dan kekuasaan absolut, pengibaran bendera ini menjadi simbol perlawanan terhadap para "bajak laut" modern, yaitu oknum para pejabat yang korup dan sewenang-wenang. Mereka merampas hak-hak rakyat, mengabaikan kesejahteraan, dan menggerogoti kekayaan negara. Aksi ini adalah seruan agar oknum-oknum tersebut sadar dan kembali mengabdi untuk rakyat, bukan untuk memperkaya diri sendiri, maupun kelompoknya semata.

Dalam dunia One Piece, hukum sering kali diatur oleh mereka yang berkuasa, bukan oleh keadilan sejati. Hal ini sejalan dengan kritik sebagian masyarakat terhadap sistem hukum yang dianggap tebang pilih. Bendera Topi Jerami dapat dimaknai pula menjadi simbol harapan agar hukum ditegakkan dengan adil, tanpa memandang status atau jabatan, apalagi kelompok.

Pengibaran bendera ini juga mencerminkan kekecewaan beberapa pihak terhadap pemerintah yang dianggap abai terhadap penderitaan rakyat. Layaknya kru Topi Jerami yang bersatu melawan tirani, masyarakat berharap para pejabat dapat membuka mata dan telinga, mendengarkan aspirasi rakyat, dan menjalankan roda pemerintahan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian, bendera bajak laut Topi Jerami tak lagi sekadar simbol fiksi, melainkan manifestasi dari semangat perjuangan rakyat. Ini adalah seruan agar para pemimpin tidak melupakan janji-janji mereka, dan kembali berlayar di jalur yang benar demi mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan merdeka seutuhnya.

*Penulis: NB. Munib

0 Komentar