Selamat Datang di Perkumpulan Pelestari Sejarah dan Kebudayaan

Ironi Tragedi Perusakan Museum di Kabupaten Kediri

Suasana kebakaran di Kantor DPRD Kab. Kediri dan kondisi kerusakan Museum Bagawanta Bari
(Foto: Dicky/PASAK, 30/08/2025)

Kediri - Ini adalah sebuah narasi tentang bagaimana perjuangan untuk masa depan yang lebih baik justru melenyapkan jejak masa lalu yang tak ternilai.

Dalam panggung demokrasi, suara rakyat adalah musiknya. Demonstrasi di depan gedung DPRD adalah salah satu orkestrasi paling sahih dari musik tersebut—sebuah ekspresi kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Namun, apa yang terjadi ketika alunan musik kebebasan itu berubah menjadi simfoni kehancuran yang memilukan? Peristiwa hipotetis di Kabupaten Kediri, di mana aspirasi yang disuarakan di gedung dewan berakhir dengan perusakan Museum Bagawanta Bari, menjadi cermin kelam dari ironi ini.

Bayangkan ratusan atau ribuan massa berkumpul di depan kantor Polres Kota Kediri pada siang hari, konflik tidak dapat dihindarkan. Massa kemudian bergerak ke Kantor DPRD Kota Kediri, massa membakar gedung perwakilan rakyat daerah kota. Tidak selesai disitu, malam hari massa bergerak ke area kantor untuk merusak gedung DPRD Kabupaten Kediri. Gedung yang berada di area kantor Bupati Kediri tersebut menjadi sasaran amuk massa. Massa yang tidak terkendal membabibuta merusak, menjarah dan membakar area gedung DPRD, dan Kantor Bupati Kediri. Naasnya sebuah bangunan penyelamatan peninggalan arkeologi yang tepat berada di belakang gedung DPRD Kabupaten Kediri ikut dirusak oleh massa.

Bangunan yang disebut Museum Bagawanta Bari dahulu diresmikan oleh Bupati Drs, Usri Sastradiredja pada 5 Juli 1985. Rencana koleksi artefak yang ada pada bangunan ini akan dipindahkan ke gedung museum baru, yang kini telah berdiri di Desa Menang, Kec. Pagu. Namun naas, sebelum dipindahkan semua, terjadi tragedi perusakan pada hari Sabtu malam, 30 Agustus 2025.

Nyuwun sewu mas, niki museum isine watu-watu kuno, mboten wonten nopo-nopo, dilewati mawon...” (Permisi mas, ini museum yang isinya batu-batu kuno (bersejarah), tidak ada apa-apa, ditinggalkan saja....) ucap Juan salah satu pelestari sejarah dan kebudayaan di Kediri yang berusaha menenangkan sekelompok massa agar tidak merusak museum.

Ia beserta ke lima rekan baik dari komunitas budaya, juga beberapa staf Dinas Pariwisata dan Kebudayaan berusaha mencegah perusakan hingga ke area museum. Kelompok pertama berhasil di cegah, namun datang kelompok lain yang malah beringas memecah kaca dan etalase koleksi museum. Beberapa artefak di lempar keluar dan entah kemana.

Dari unggahan video dari Juan yang dikirim ke group komunitas, terlihat kondisi ruang museum yang rusak parah. Etalase artefak pecah, kaca berhamburan di lantai, beberapa artefak sudah tidak ada di tempat dan saat masuk ke ruangan terdengar suara ledakan roket petasan. Suasana mencekam terlihat dalam video pendek yang rekan komunitas kirimkan.

Kami berhasil mengamankan beberapa artefak sebelum dirusak massa, seperti Kepala Buddha hasil ekskavasi Candi Adan-Adan, dan beberapa prasasti diamankan Mas Juan, Gus Sirojul, Wory dan kawan-kawan, tapi banyak yang masih di dalam museum” ungkap Faisal salah satu staf Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Kediri.

Ia mengungkapkan pula jika seorang staf menjadi korban anarki massa, karena dikira sebagai intel kepolisian. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, serta  Kepala Bidang Sejarah dan Purbakala pun datang ke lokasi. Melihat situasi yang tidak dapat dikendalikan, maka semua diharap mengamankan diri terlebih dahulu, mengobati staf yang terluka, dan mengamankan beberapa artefak yang dapat diamankan. Esok saat suasana sudah aman akan dilakukan langkah-langkah penyelamatan dan perbaikan bersama.

aku nggak berani dekat kesana soale panas banget ndek kene” (Aku tidak berani mendekat ke sana, karena panas sekali di sini) ucap Dicky dalam video yang ia unggah di group Pelestari Sejarah dan Kebudayaan.

Ia juga menunjukkan kondisi di dalam gedung museum yang porakporanda. Terlihat di samping gedung museum kobaran api membakar sisi belakang kantor DPRD Kabupaten Kediri.

Menuntut Masa Depan dengan Menghancurkan Masa Lalu

Perusakan Museum Bagawanta Bari dalam skenario ini adalah sebuah ironi yang menusuk hingga ke jantung demokrasi itu sendiri. Tidak hanya museum ini, bahkan terjadi pula perusakan pada fasilitas umum yang penting bagi pelayanan masyarakat Kediri. Pastilah pelayanan atas kebutuhan-kebutuhan administrasi dasar masyarakat Kediri akan terhambat karena ulah perusuh tersebut.

  1. Kontradiksi Tujuan: Para demonstran turun ke jalan untuk menuntut kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Namun, dengan tangan yang sama (atau disusupi kelompok lain), mereka menghancurkan bukti perjalanan dan jati diri generasi masa lalu. Bagaimana sebuah bangsa bisa membangun masa depan yang kokoh jika fondasi sejarahnya sengaja mereka retakkan?
  2. Membungkam Suara Sendiri: Aksi perusakan ini secara terorganisir mendelegitimasi seluruh perjuangan mereka. Fokus media dan publik tidak lagi tertuju pada substansi tuntutan mereka yang mungkin valid, melainkan pada kebrutalan tindakan mereka. Pesan kritis mereka tenggelam, terkubur di bawah puing-puing museum yang mereka hancurkan. Mereka berhasil menarik perhatian, tetapi kehilangan simpati.
  3. Demokrasi vs Anarki: Kebebasan berpendapat adalah pilar demokrasi. Namun, kebebasan itu datang dengan tanggung jawab. Ketika ekspresi berubah menjadi destruksi, ia tidak lagi menjadi bagian dari demokrasi, melainkan telah menyeberang ke wilayah anarki. Mereka menggunakan hak demokratis untuk melakukan tindakan anti-demokratis yang merugikan kepentingan publik yang lebih luas.

Demokrasi yang Merawat, Bukan Merusak

Kisah tragis perusakan museum ini, meskipun sebuah gambaran, adalah pengingat keras bagi kita semua. Demokrasi bukan hanya tentang hak untuk berteriak, tetapi juga tentang kewajiban untuk mendengar dan berpikir. Ia bukan lisensi untuk merusak, melainkan sebuah mandat untuk merawat.

Perjuangan untuk keadilan sosial dan ekonomi adalah perjuangan yang mulia. Namun, perjuangan itu akan kehilangan kemuliaannya saat ia mengorbankan aset tak ternilai lainnya: warisan budaya dan sejarah. Sebab, pada akhirnya, tujuan demokrasi adalah membangun peradaban yang lebih baik, bukan menghancurkan sisa-sisa peradaban yang telah ada.

Semoga suara-suara di masa depan yang menuntut perubahan adalah suara yang membangun, bukan yang merobohkan. Suara yang mengkritik kebijakan, bukan yang memecahkan kaca jendela sejarah kita bersama.

*Penulis: NB. Munib

0 Komentar