Dalam panggung demokrasi, suara rakyat adalah
musiknya. Demonstrasi di depan gedung DPRD adalah salah satu orkestrasi paling
sahih dari musik tersebut—sebuah ekspresi kebebasan berpendapat yang dijamin
konstitusi. Namun, apa yang terjadi ketika alunan musik kebebasan itu berubah
menjadi simfoni kehancuran yang memilukan? Peristiwa hipotetis di Kabupaten
Kediri, di mana aspirasi yang disuarakan di gedung dewan berakhir dengan perusakan
Museum Bagawanta Bari, menjadi cermin kelam dari ironi ini.
Bayangkan ratusan atau ribuan massa berkumpul di
depan kantor Polres Kota Kediri pada siang hari, konflik tidak dapat
dihindarkan. Massa kemudian bergerak ke Kantor DPRD Kota Kediri, massa membakar
gedung perwakilan rakyat daerah kota. Tidak selesai disitu, malam hari massa
bergerak ke area kantor untuk merusak gedung DPRD Kabupaten Kediri. Gedung yang
berada di area kantor Bupati Kediri tersebut menjadi sasaran amuk massa. Massa
yang tidak terkendal membabibuta merusak, menjarah dan membakar area gedung
DPRD, dan Kantor Bupati Kediri. Naasnya sebuah bangunan penyelamatan
peninggalan arkeologi yang tepat berada di belakang gedung DPRD Kabupaten
Kediri ikut dirusak oleh massa.
Bangunan yang disebut Museum Bagawanta Bari dahulu diresmikan
oleh Bupati Drs, Usri Sastradiredja pada 5 Juli 1985. Rencana koleksi artefak
yang ada pada bangunan ini akan dipindahkan ke gedung museum baru, yang kini
telah berdiri di Desa Menang, Kec. Pagu. Namun naas, sebelum dipindahkan semua,
terjadi tragedi perusakan pada hari Sabtu malam, 30 Agustus 2025.
“Nyuwun sewu
mas, niki museum isine watu-watu kuno, mboten wonten nopo-nopo, dilewati mawon...”
(Permisi mas, ini museum yang isinya batu-batu kuno (bersejarah), tidak ada
apa-apa, ditinggalkan saja....) ucap Juan salah satu pelestari sejarah dan kebudayaan
di Kediri yang berusaha menenangkan sekelompok massa agar tidak merusak museum.
Ia beserta ke lima rekan baik dari komunitas budaya,
juga beberapa staf Dinas Pariwisata dan Kebudayaan berusaha mencegah perusakan
hingga ke area museum. Kelompok pertama berhasil di cegah, namun datang
kelompok lain yang malah beringas memecah kaca dan etalase koleksi museum. Beberapa
artefak di lempar keluar dan entah kemana.
Dari unggahan video dari Juan yang dikirim ke group
komunitas, terlihat kondisi ruang museum yang rusak parah. Etalase artefak
pecah, kaca berhamburan di lantai, beberapa artefak sudah tidak ada di tempat
dan saat masuk ke ruangan terdengar suara ledakan roket petasan. Suasana mencekam
terlihat dalam video pendek yang rekan komunitas kirimkan.
“Kami berhasil
mengamankan beberapa artefak sebelum dirusak massa, seperti Kepala Buddha hasil
ekskavasi Candi Adan-Adan, dan beberapa prasasti diamankan Mas Juan, Gus Sirojul,
Wory dan kawan-kawan, tapi banyak yang masih di dalam museum” ungkap Faisal
salah satu staf Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Kediri.
Ia mengungkapkan pula jika seorang staf menjadi korban
anarki massa, karena dikira sebagai intel kepolisian. Kepala Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan, serta Kepala Bidang
Sejarah dan Purbakala pun datang ke lokasi. Melihat situasi yang tidak dapat
dikendalikan, maka semua diharap mengamankan diri terlebih dahulu, mengobati
staf yang terluka, dan mengamankan beberapa artefak yang dapat diamankan. Esok
saat suasana sudah aman akan dilakukan langkah-langkah penyelamatan dan perbaikan
bersama.
“aku nggak
berani dekat kesana soale panas banget ndek kene” (Aku tidak berani
mendekat ke sana, karena panas sekali di sini) ucap Dicky dalam video yang ia
unggah di group Pelestari Sejarah dan Kebudayaan.
Ia juga menunjukkan kondisi di dalam gedung museum
yang porakporanda. Terlihat di samping gedung museum kobaran api membakar sisi
belakang kantor DPRD Kabupaten Kediri.
Menuntut Masa Depan dengan Menghancurkan Masa Lalu
Perusakan Museum Bagawanta Bari dalam skenario ini
adalah sebuah ironi yang menusuk hingga ke jantung demokrasi itu sendiri. Tidak
hanya museum ini, bahkan terjadi pula perusakan pada fasilitas umum yang penting
bagi pelayanan masyarakat Kediri. Pastilah pelayanan atas kebutuhan-kebutuhan
administrasi dasar masyarakat Kediri akan terhambat karena ulah perusuh
tersebut.
- Kontradiksi
Tujuan: Para
demonstran turun ke jalan untuk menuntut kehidupan yang lebih baik bagi
generasi mendatang. Namun, dengan tangan yang sama (atau disusupi kelompok lain), mereka menghancurkan
bukti perjalanan dan jati diri generasi masa lalu. Bagaimana sebuah bangsa
bisa membangun masa depan yang kokoh jika fondasi sejarahnya sengaja
mereka retakkan?
- Membungkam
Suara Sendiri: Aksi
perusakan ini secara terorganisir mendelegitimasi seluruh perjuangan
mereka. Fokus media dan publik tidak lagi tertuju pada substansi tuntutan
mereka yang mungkin valid, melainkan pada kebrutalan tindakan mereka.
Pesan kritis mereka tenggelam, terkubur di bawah puing-puing museum yang
mereka hancurkan. Mereka berhasil menarik perhatian, tetapi kehilangan
simpati.
- Demokrasi
vs Anarki:
Kebebasan berpendapat adalah pilar demokrasi. Namun, kebebasan itu datang
dengan tanggung jawab. Ketika ekspresi berubah menjadi destruksi, ia tidak
lagi menjadi bagian dari demokrasi, melainkan telah menyeberang ke wilayah
anarki. Mereka menggunakan hak demokratis untuk melakukan tindakan
anti-demokratis yang merugikan kepentingan publik yang lebih luas.
Demokrasi yang Merawat, Bukan Merusak
Kisah tragis perusakan museum ini, meskipun sebuah
gambaran, adalah pengingat keras bagi kita semua. Demokrasi bukan hanya tentang
hak untuk berteriak, tetapi juga tentang kewajiban untuk mendengar dan
berpikir. Ia bukan lisensi untuk merusak, melainkan sebuah mandat untuk
merawat.
Perjuangan untuk keadilan sosial dan ekonomi adalah
perjuangan yang mulia. Namun, perjuangan itu akan kehilangan kemuliaannya saat
ia mengorbankan aset tak ternilai lainnya: warisan budaya dan sejarah. Sebab,
pada akhirnya, tujuan demokrasi adalah membangun peradaban yang lebih baik,
bukan menghancurkan sisa-sisa peradaban yang telah ada.
Semoga suara-suara di masa depan yang menuntut
perubahan adalah suara yang membangun, bukan yang merobohkan. Suara yang
mengkritik kebijakan, bukan yang memecahkan kaca jendela sejarah kita bersama.
0 Komentar