Selamat Datang di Perkumpulan Pelestari Sejarah dan Kebudayaan

HANCURNYA ISTANA PANGERAN TRUNOJOYO DI KOTA KEDIRI

ilustrasi Panembahan Maduretno Panatagama dengan latar Istana Kadiri versi Eropa

Pangeran Trunojoyo (1649–1680), dikenal juga sebagai Panembahan Maduretno Panatagama, merupakan tokoh penting dalam perlawanan terhadap kekuasaan Kesultanan Mataram dan dominasi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Jawa pada abad ke-17. Berdasarkan laporan VOC dan sumber kronik Jawa, Trunojoyo membangun kekuatan di Kediri dan menjadi simbol perlawanan rakyat Madura dan Jawa Timur terhadap sentralisasi kekuasaan Mataram yang didukung oleh VOC. Artikel ini menelusuri bukti-bukti sejarah sejaman, motif konflik, strategi militer, serta dampak jangka panjang dari Perang Trunojoyo terhadap sistem politik Nusantara. 

Latar Belakang Sosial dan Politik

Pangeran Trunojoyo adalah bangsawan Madura keturunan Cakraningrat I dan menikah dengan putri Amangkurat I dari Mataram. Ketegangan antara Trunojoyo dan pihak istana Mataram dipicu oleh dominasi keluarga kerajaan serta campur tangan Patih Pragola dan Sunan Amangkurat I dalam politik Madura. Trunojoyo kemudian memisahkan diri dan menghimpun kekuatan di Kediri, Jawa Timur.

Beberapa sumber utama VOC memberikan kesaksian langsung atas sepak terjang Trunojoyo:

  • Daghregister Batavia (1675–1680): Laporan harian dari Gubernur Jenderal VOC di Batavia mencatat pergerakan pasukan Trunojoyo dan jatuhnya kota-kota penting di Jawa Timur ke tangan pasukannya.
  • Laporan Cornelis Speelman (arsip Nationaal Archief, Den Haag): Dalam laporan militernya tahun 1677, Speelman menulis:
"De opstand van Trunajaya heeft zich verspreid tot in de hofstad Mataram zelf, en het hof is gevlucht."

(“Pemberontakan Trunojoyo telah meluas hingga ibu kota Mataram sendiri, dan istana pun melarikan diri.”)
  • Verslag van de Expeditie naar Kediri (1678): VOC mencatat bahwa Kediri menjadi pusat kekuatan Trunojoyo yang memerintah sebagai “Panembahan Maduretno” dan membangun sistem pemerintahan tersendiri.

Alasan VOC Terlibat Menyerang Trunojoyo

VOC awalnya netral, namun kemudian terlibat aktif karena adanya permintaan bantuan dari Amangkurat I dan kemudian Amangkurat II, yang terdesak oleh kekuatan Trunojoyo.  Adapula kekhawatiran atas hilangnya stabilitas perdagangan VOC di Jawa, terutama di daerah penghasil beras dan rempah. Juga adanya ancaman terhadap kota-kota pesisir, seperti Surabaya dan Jepara, yang menjadi titik penting bagi jalur dagang VOC.

 

Serangan VOC dan Mataram terhadap Kadiri

Setelah berhasil merebut sebagian besar wilayah Jawa Timur, dan bahkan sempat menguasai ibu kota Mataram (Plered) pada tahun 1677, Pangeran Trunojoyo menarik mundur kekuatannya ke Kediri. Di sanalah ia memproklamasikan diri sebagai Panembahan Maduretno Panatagama, mendirikan pusat pemerintahan baru yang terorganisir, lengkap dengan pasukan, istana, dan benteng pertahanan.

 

Pasukan gabungan VOC-Mataram menyerbu pusat pemerintahan Trunojoyo di Kediri pada tahun 1678. Ekspedisi terbesar VOC ini dipimpin oleh Cornelis Speelman. VOC menerjunkan serdadu Eropa, serta dukungan dari pasukan koalisi serta bayaran dari Ambon, Bugis, dan Makassar.

 

Dalam Verslag van de Expeditie naar Kadiri (Laporan Ekspedisi ke Kediri), Gubernur VOC Cornelis Speelman menyebutkan bahwa:

"In Kadiri bevindt zich het paleis van Trunajaya, een vesting met muren van aarde, voorzien van bastions en poorten, omringd door rivieren en greppels. Het geheel vormt een indrukwekkend bolwerk."
(“Di Kadiri terdapat istana Trunojoyo, sebuah benteng dengan tembok tanah padat, dilengkapi dengan bastion dan gerbang, dikelilingi oleh sungai dan parit. Seluruhnya membentuk benteng yang mengesankan.”)

 

Istana Kadiri menurut laporan VOC digambarkan sebagai berikut:

  • Benteng utama dibangun di atas bukit kecil di tepi Sungai Brantas, memanfaatkan medan alam sebagai pertahanan.
  • Dinding benteng terdiri dari tanah padat (tanah liat dipadatkan dan dibakar Sebagian/Bata Merah) setebal 2 hasta, dan tinggi lebih dari 3 meter, dilengkapi 4 bastion utama di tiap penjuru.
  • Parit pertahanan (gracht) yang dalam mengelilingi benteng, dialiri air dari Sungai Brantas dan anak sungainya.
  • Gerbang utama (poorten) dijaga oleh pasukan bersenjata tombak, panah, dan meriam kecil hasil rampasan dari pesisir.
  • Istana Panembahan Maduretno berdiri di tengah kompleks: bangunan kayu jati beratap tumpang tiga, dengan pendapa besar untuk audiensi dan ruang dalam sebagai kediaman pribadi raja.

"Het hof is gebouwd in de stijl van Javaanse vorstenhoven, doch grootschaliger dan in Plered."
(“Istana ini dibangun dalam gaya kraton Jawa, namun lebih megah daripada Plered.”)

 

Kronologi penyerangan atau yang dikenal dengan istilah Ekspedisi Militer 1678, antara pasukan  koalisi VOC dengan Mataram sebagai berikut:

Agustus 1678

Pasukan VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman bergabung dengan pasukan Mataram pimpinan Adipati Anom (kelak Amangkurat II). Komposisi pasukan terdiri dari ± 1.000 serdadu VOC (Belanda, Ambon, Bugis, Makassar), ± 4.000 prajurit Mataram, dan dilengkapi Artileri ringan dan pasukan pendobrak.

 

September 1678

Pasukan bergerak dari Kartasura, melalui jalur selatan (melewati Tulungagung dan Blitar), menghindari pasukan Trunojoyo di utara. Kebutuhan logistik dibantu oleh orang Madura dan Blambangan yang sudah membelot ke pihak VOC.

 

Oktober 1678

Pasukan koalisi VOC-Mataram tiba di luar Kediri dan mulai mengepung kota selama dua minggu. Pasukan koalisi ini membuat kubu perkemahan di sisi barat Sungai Brantas, berada di sekitar Manukan hingga Singkal. Manukan kini menjadi nama Dusun di bawah Desa Jabon, Kec. Banyakan, Kab. Kediri, sedangkan Singkal kini menjadi nama Desa Singkalanyar, Kec. Prambon, Kab. Nganjuk. 

 

Menurut Daghregister Batavia (20 Oktober 1678):

"Onze artillerie heeft constant vuur gericht op de westelijke bastion van Kediri. De verdediging is taai en dapper."
(“Artileri kami terus menembaki bastion barat Kediri. Pertahanannya tangguh dan berani.”)

 

Akhir Oktober 1678

Ilustrasi perang di benteng Kota Kadiri 1678

Penduduk sipil sebagian besar mengungsi ke pegunungan. Kota menjadi medan perang terbuka. Awalnya kubu pertahanan pasukan koalisi VOC-Mataram susah payah menyerang istana Kediri karena terhalang aliran Sungai Brantas yang deras. Aksi teror dan provokasi dari pasukan Kediri sering terjadi. Babad Tanah Jawi menceritakan sebuah keajaiban yang menjadi titik keberhasilan pasukan koalisi menyerang Istana Kediri.

Ketika pasukan Mataram dan VOC hendak menyerang benteng Kediri yang berada di arah timur, mereka terhalang Sungai Brantas yang sedang banjir dan berarus sangat deras. Namun, setelah Sultan Amangkurat II bersemedi dan berdoa kepada leluhur serta memohon pertolongan gaib, tiba-tiba air Sungai Brantas menyurut drastis, sehingga pasukan dapat menyeberang dan menyerang istana Kediri.

Pasukan VOC menggunakan meriam dan tangga pengepung untuk menembus dinding bagian barat. Pertempuran terjadi dari rumah ke rumah, termasuk di pendapa istana Trunojoyo. Panembahan Maduretno melarikan diri ke arah Gunung Kelud bersama sisa pasukannya.

"De vlag van de compagnie werd op 29 oktober gehesen boven het hoofdgebouw van Kediri."
(“Bendera VOC dikibarkan pada 29 Oktober di atas bangunan utama Kediri.”)

 

Dalam laporan tertanggal 27 November 1678, Speelman menulis:

"Na een harde strijd, is de residentie van Trunojoyo ingenomen. De panembahan

is op de vlucht geslagen."
(“Setelah pertempuran sengit, kediaman Trunojoyo berhasil direbut. Panembahan melarikan diri.”)

 

Beberapa minggu setelah pengepungan, Trunojoyo ditangkap di lereng Gunung Kelud oleh pasukan Macan Wulung dari Mataram. Kemudian beliau diserahkan kepada Amangkurat II, lalu dieksekusi secara pribadi oleh sang raja sebagai pembalasan dendam atas penghancuran Istana Plered.

Dampak Perang Trunojoyo


Terhadap Kerajaan Kadiri

Dampak pertama tentu runtuhnya kekuasaan alternatif Trunojoyo yang sempat menjadi ancaman bagi VOC dan Mataram. Kemudian VOC mengukuhkan hegemoni militer di pedalaman Jawa, terutama di daerah strategis seperti Kediri dan Madiun. Istana Kediri dihancurkan sebagian, dan dijadikan pos sementara VOC. Laporan VOC menyebutkan pula bahwa setelah Kediri jatuh, mereka menyita banyak barang-barang berharga sebagai pampasan perang.

“alle soorten kostbare goederen, wapenen, edelstenen en heilige voorwerpen van de opstandelingen”

(segala jenis barang berharga, senjata, batu permata, dan benda-benda keramat dari para pemberontak)

 

Laporan akhir Speelman:

"De vesting van Kediri is met succes bezet en zal worden ontmanteld teneinde geen 

verzetscentrum meer te zijn."
(“Benteng Kediri berhasil diduduki dan akan dibongkar agar tidak lagi menjadi pusat perlawanan.”)


Penghancuran benteng Kediri pasca pendudukan VOC dan Mataram pada tahun 1678 menjadikan sangat sulit menemukan bekas-bekas benteng maupun istana Panembahan Maduretno. Walau sulit namun kita masih dapat melihat beberapa tinggalan arkeologis yang diindikasikan telah ada sejaman era Pemerintahan Panembahan Maduretno Panatagama, seperti Struktur Stonogedong, situs Manukan di Desa Jabon, dan beberapa toponim yang masih melekat di sekitar Kediri, seperti Balowerti (benteng), Setonogedong, Kemasan, Jagalan, Pandean, Setonobetek, Singonegaran, di mana istilah-istilah tersebut sudah lumrah digunakan pada area pusat pemerintahan masyarakat Jawa.

Terhadap Mataram:

Mataram menjadi sangat bergantung pada VOC, menandai awal penetrasi VOC dalam politik internal kerajaan Jawa. Amangkurat II naik takhta dengan dukungan VOC, dan pusat kerajaan dipindahkan ke Kartasura.

 

Terhadap VOC:

VOC memperoleh konsesi dagang dan wilayah baru, termasuk Semarang dan pelabuhan penting lain di Pantura. Kemudian VOC juga semakin menguatkan posisinya sebagai kekuatan militer dan politik utama di Jawa.

Terhadap Raja-Raja Nusantara:

Trunojoyo menginspirasi perlawanan lokal terhadap kekuasaan pusat dan asing. Model aliansi raja Mataram dengan VOC menjadi pola umum, seperti di Bone, Banten, dan Palembang. Legitimasi kekuasaan raja mulai bergeser dari ilahi ke militeristik dan diplomatis, bergantung pada dukungan asing.

 

Penutup.

Perang Trunojoyo bukan hanya konflik lokal, tetapi bagian dari transformasi besar dalam sejarah politik Jawa dan Nusantara. Perlawanan Trunojoyo mengguncang struktur kekuasaan Mataram dan membuka jalan bagi intervensi kolonial yang lebih dalam oleh VOC. Istana Kediri sebagai simbol kedaulatan alternatif menunjukkan adanya pluralisme kekuasaan yang sempat hidup sebelum sentralisasi kolonial menegaskan dominasi.

Penyerangan Istana Kediri tahun 1678 mencerminkan klimaks dari konflik antara kekuasaan lokal yang berusaha mandiri (Trunojoyo), melawan dominasi sentral (Mataram) dan kekuatan asing (VOC). Istana Panembahan Maduretno yang megah menjadi simbol kekuasaan alternatif, namun runtuh oleh kekuatan koalisi VOC-Mataram yang bersenjata modern dan berstrategi sistematis.

Referensi

  1. Daghregister Batavia 1675–1680, Arsip Nasional Belanda (Nationaal Archief).
  2. De Graaf, H.J. dan Pigeaud, Th.G.Th., Kerajaan Islam di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-17, Jakarta: Grafiti Press, 1985.
  3. L., Olthof, W. (2007). Babad Tanah Jawi, mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647 (Edisi Cet. 1). Yogyakarta: Narasi.
  4. Nagtegaal, L.W. Rijk aan Eilanden: De VOC in de Indonesische Archipel. SUN, 1996.
  5. Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press, 2008.
  6. Surat-surat Cornelis Speelman, Verslag van de Militaire Expeditie 1678, Nationaal Archief Den Haag.

 *Penulis: NB. Munib

1 Komentar

  1. Alhamdulillah dapat pengetahuan baru terimkasih, semoga ulasan seperti sering di post

    BalasHapus