Selamat Datang di Perkumpulan Pelestari Sejarah dan Kebudayaan

21 Juli 1947, Goresan Luka Agresi Belanda dan Cermin Kerapuhan Kesetiaan Bangsa



Letnan Gubernur Jenderal Dr. HJ van Mook berpidato saat Konferensi Malino
(Sumber: www.kitlv.nl)

Pada 21 Juli 1947, tepat 78 tahun yang lalu, dentuman meriam dan deru pesawat tempur Belanda memecah keheningan fajar di wilayah Republik Indonesia. Peristiwa yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I atau Operatie Product ini menjadi salah satu babak paling kelam dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Bukan sekadar serangan militer, operasi ini adalah ujian berat bagi kedaulatan, persatuan, dan terutama, kesetiaan anak bangsa. Peringatan ini bukan hanya untuk mengenang heroisme para pejuang, tetapi juga untuk merefleksikan luka pengkhianatan yang terjadi dan relevansinya hingga hari ini.

Akar Masalah

Penyebab utama dilancarkannya Operatie Product adalah perbedaan tafsir yang fundamental dan niat tersembunyi Belanda terhadap Perjanjian Linggarjati yang disepakati pada 25 Maret 1947. Dari sudut pandang Belanda, Indonesia telah melanggar perjanjian dengan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain dan tidak mampu menghentikan "kekacauan" di dalam negeri. Namun, ini hanyalah dalih.

Akar masalah sesungguhnya terletak pada kepentingan ekonomi. Letnan Gubernur Jenderal Hubertus van Mook, arsitek agresi ini, melihat bahwa ekonomi Belanda pasca-Perang Dunia II tidak akan pulih tanpa menguasai kembali sumber daya alam Hindia Belanda. Dalam pidatonya, van Mook menyebut agresi ini sebagai "Aksi Polisionil" untuk menertibkan keadaan.

Kenyataannya, sasaran utama operasi ini adalah wilayah-wilayah yang kaya akan hasil perkebunan (gula, teh, karet) dan pertambangan (minyak) di Sumatera dan Jawa. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam karyanya Sejarah Indonesia Modern, 1200–2004 menyatakan bahwa tujuan agresi adalah "untuk merebut wilayah-wilayah perkebunan yang paling kaya di Jawa dan Sumatra" (Ricklefs, 2005, hlm. 363). Dengan demikian, agresi ini adalah upaya brutal untuk mengamankan aset ekonomi dengan kedok penegakan hukum.

Pasukan KNIL latihan menembak di Tomohon, Sulawesi Utara (29/01/1948)
(Sumber: www.nationaalarchief.nl)


Respons Republik Indonesia

Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir tidak tinggal diam. Respons dilakukan melalui dua jalur utama: diplomasi dan militer.

  • Jalur Diplomasi

Indonesia secara sigap membawa agresi ini ke forum internasional. Sutan Sjahrir, A.K. Gani, dan Agus Salim berangkat ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Lake Success, New York. Dengan pidato yang memukau, mereka berhasil membuka mata dunia bahwa ini bukanlah "aksi polisionil" internal, melainkan agresi sebuah negara berdaulat terhadap negara berdaulat lainnya. Langkah ini berhasil menarik simpati internasional dan memaksa PBB untuk turun tangan, yang kemudian membentuk Komisi Tiga Negara (KTN).

  • Jalur Militer

Di bawah komando Panglima Besar Jenderal Soedirman, Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang saat itu masih dalam tahap konsolidasi, tidak mampu menghadapi kekuatan militer Belanda secara frontal. Sebagai respons, Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Siasat No. 1, yang menginstruksikan seluruh pasukan untuk beralih ke strategi perang gerilya atau "Perang Rakyat Semesta". Taktik ini mengandalkan dukungan rakyat, penguasaan medan, dan serangan kilat (hit-and-run) untuk melemahkan logistik dan moral pasukan Belanda.

Suasana Operatie Product di Kediri

Kediri, sebagai salah satu pusat pemerintahan dan ekonomi penting di Jawa Timur, menjadi target strategis Belanda. Kronologi kejatuhan Kediri berlangsung cepat dan brutal:

  • 21 Juli 1947

Pasukan Belanda dari Divisi B di bawah komando Mayor Jenderal S. de Waal mulai bergerak dari Surabaya menuju selatan. Target mereka adalah menguasai kota-kota penting termasuk Mojokerto, Jombang, dan Kediri.

  • Menjelang Invasi

Menyadari kekuatan yang tidak seimbang, pasukan TNI di Kediri, yang dipimpin oleh Komandan Resimen 30 Letkol Surachmad, menerapkan strategi bumi hangus. Berbagai objek vital seperti Jembatan Brantas, pabrik gula, dan infrastruktur lainnya diledakkan untuk memperlambat gerak laju pasukan Belanda.

  • Akhir Juli 1947

Meskipun ada perlawanan sengit di beberapa titik, kekuatan militer Belanda yang superior berhasil menerobos pertahanan TNI. Kota Kediri jatuh ke tangan Belanda. Pemerintahan sipil dan militer Republik terpaksa menyingkir ke wilayah pedesaan dan pegunungan di sekitar Gunung Wilis untuk melanjutkan perjuangan gerilya. Suasana kota menjadi mencekam di bawah pendudukan, sementara di pinggiran, pertempuran sporadis terus berkobar.

Duri dalam Daging

Salah satu aspek paling menyakitkan dari perang kemerdekaan adalah munculnya pribumi yang memilih untuk mendukung Belanda. Fenomena ini tidak bisa dipandang hitam-putih, karena alasan di baliknya sangat kompleks:

  • Loyalitas Pra-Kemerdekaan

Banyak anggota KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger) adalah orang Indonesia yang telah mengabdi puluhan tahun kepada Ratu Belanda. Bagi mereka, kesetiaan kepada mahkota Belanda adalah sebuah kehormatan dan sumpah yang tidak bisa diingkari. Mereka memandang kaum Republiken sebagai "pemberontak".

  • Pragmatisme dan Kepentingan Ekonomi

Belanda menawarkan gaji, jaminan keamanan, dan status sosial yang lebih baik dibandingkan Republik yang saat itu masih serba kekurangan. Bagi sebagian orang, bergabung dengan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) atau menjadi mata-mata adalah cara untuk bertahan hidup dan melindungi keluarga.

  • Kekecewaan terhadap Republik

Ada segelintir elite lokal atau bangsawan yang merasa posisi mereka terancam oleh semangat revolusi yang egaliter. Mereka melihat Belanda sebagai kekuatan yang bisa merestorasi tatanan sosial lama yang menguntungkan mereka.

  • Paksaan dan Intimidasi

Tidak sedikit yang berkhianat karena di bawah ancaman atau tekanan dari pihak Belanda.

Para pengkhianat ini memberikan informasi intelijen vital mengenai posisi pasukan TNI, logistik, dan pemimpin gerilya, yang membuat perjuangan menjadi jauh lebih sulit.

Penyerahan Medali Salib Perunggu kepada Kopral H. Louis dari KNIL (09/03/1948) 
(Sumber: www.nationaalarchief.nl)


Dampak Agresi

Dampak Operatie Product sangat signifikan bagi Indonesia:

  • Bagi Pemerintah Indonesia

Wilayah de facto Republik Indonesia menyusut drastis. Belanda berhasil menguasai sebagian besar Jawa Barat, Jawa Tengah bagian utara, Jawa Timur, serta wilayah perkebunan dan pertambangan di Sumatera. Garis demarkasi yang dikenal sebagai "Garis Van Mook" membatasi wilayah Republik yang tersisa. Secara politik, agresi ini berujung pada Perjanjian Renville yang sangat merugikan Indonesia.

  • Bagi Pemerintahan di Kediri

Setelah kota diduduki, Belanda membentuk pemerintahan sipil versi mereka. Sementara itu, pemerintahan resmi Karesidenan Kediri di bawah pimpinan Residen Samadikun terpaksa mengungsi dan membentuk Pemerintahan Sipil Darurat (PSD) di wilayah gerilya. Terjadi dualisme pemerintahan: satu diakui Belanda di kota, satu lagi berbasis perjuangan rakyat di pedesaan.

Ancaman Pengkhianatan di Era Modern

Kita sekarang mencoba refleksi, bagaimana jika Indonesia diserang negara “adikuasa” hari ini, potensi lahirnya pengkhianat tetap kuat, sehingga hal ini harus menjadi sebuah kewaspadaan nasional yang relevan. Namun, pemicu dan bentuknya telah berevolusi.

Perbandingan Pemicu Pengkhianatan

Aspek

Era 1947-1949

Era Modern (Hipotesis)

Ideologi/Loyalitas

Loyalitas pada Ratu Belanda (KNIL), feodalisme, kekecewaan pada ideologi revolusi.

Polarisasi politik dalam negeri, ideologi transnasional (ekstremisme), ketidakpuasan terhadap sistem demokrasi/pemerintah.

Ekonomi

Kebutuhan dasar (gaji, makanan), jaminan keamanan fisik.

Godaan finansial yang masif (korupsi), iming-iming gaya hidup mewah, jebakan utang.

Metode Rekrutmen

Tatap muka, hubungan personal, berbasis komunitas/keluarga.

Rekrutmen digital melalui media sosial, honey trap (jebakan asmara), operasi siber, disinformasi, dan blackmail (pemerasan).

Aktor

Pribumi anggota KNIL, elite lokal, mata-mata bayaran.

Pejabat korup, peretas (hacker), influencer media sosial, agen ganda di lembaga strategis, warga biasa yang tergiur uang.

Berkaca dari Agresi Israel ke Iran (2025), kasus yang disebutkan mengenai keterlibatan warga Iran dan pengungsi Afganistan, serta turis asing sebagai agen Mossad memberikan gambaran nyata. Motivasi mereka seringkali bukan lagi loyalitas pada ideologi Zionisme, melainkan:

  • Ketidakpuasan mendalam terhadap rezim teokratis Iran, serta pendukung feodalisme monarki sebagai oposisi.
  • Bayaran dalam mata uang asing yang sangat menggiurkan di tengah kesulitan ekonomi Iran (Baik dari warga Iran, maupun Pengungsi Afganistan).
  • Pemerasan setelah terjebak dalam operasi intelijen.

Analisis ini menunjukkan bahwa di era modern, perang tidak hanya dimenangkan dengan alutsista, tetapi juga melalui perang informasi, psikologi, dan ekonomi. Negara agresor modern akan mengeksploitasi keretakan sosial, polarisasi politik, dan ketidakadilan ekonomi di negara target untuk merekrut "pengkhianat". Kerentanan terbesar sebuah bangsa bukanlah kelemahan militernya, melainkan rapuhnya rasa keadilan dan persatuan di antara warganya. Maka sangat ironis saat banyak bengkel drone, dan alutsista jaringan Mossad ditemukan di dalam wilayah Iran, untuk operasi agresi di dalam tubuh Iran sendiri.

Pola serupa terlihat pula pada serangan drone-drone Ukraina yang menghancurkan pangkalan militer, dan Bandara di Rusia. Dilihat daeri geografis banyak lokasi yang dihancurkan jauh dari wilayah kekuasaan Ukraina. Ternyata pola penyusupan agen-agen Ukraina yang didukung barat telah memasukkan alutsista jauh ke dalam wilayah Rusia, dan menjadikan operasi serangan dari dalam negara Rusia mudah dilakukan. Teror agen-agen intelejen beserta kaki tangannya cukup efektif dalam dua kasus tersebut.

Kesimpulan

Operatie Product adalah pengingat pahit bahwa kedaulatan adalah hal yang harus terus-menerus diperjuangkan. Agresi ini menunjukkan bahwa kekuatan militer saja tidak cukup; diplomasi yang cerdas di panggung dunia memegang peranan krusial.

Hikmah terbesar dari peristiwa ini, terutama dari munculnya pengkhianatan, adalah bahwa benteng pertahanan paling tangguh suatu negara adalah kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya. Sebuah bangsa yang rakyatnya merasa terpinggirkan, tidak adil, dan tidak memiliki harapan akan lebih mudah dipecah belah dari dalam. Kesetiaan pada negara tidak bisa dipaksakan, melainkan harus tumbuh dari rasa memiliki (sense of belonging) yang dipupuk oleh negara melalui kebijakan yang adil dan merata.

Mengenang 21 Juli 1947 berarti memperkuat komitmen kita untuk menjaga persatuan, mewaspadai segala bentuk agresi—baik fisik maupun non-fisik—dan yang terpenting, membangun sebuah Indonesia di mana tidak ada lagi alasan bagi anak bangsanya untuk berkhianat.

Sebagai penutup mari kita introspeksi diri, bagaimana jika Indonesia diserang negara “adikuasa” hari ini, apakah kita berada pada barisan pejuang ataukah penghianat bangsa?

Daftar Bacaan

  • Kahin, George McTurnan. (2003). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program Publications.
  • Nasution, A.H. (1977). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 4: Periode Linggarjati. Bandung: Angkasa.
  • Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah Indonesia Modern, 1200–2004. (Penerjemah: Satrio Wahono, dkk.). Jakarta: Serambi.
  • Poeze, Harry A. (2008). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. (Memberikan konteks situasi politik internal yang kompleks saat itu).
*Penulis: NB. Munib

0 Komentar